Cerpen: Teman Dalam Gelap

by - Januari 10, 2018

Ibu selalu berpesan agar aku hidup hemat. Aku tidak mengerti apakah hemat maksudnya adalah aku harus menabung semua uang sakuku ke dalam celengan ayam, atau apakah aku tak boleh makan banyak-banyak, atau seragam merah putihku yang sudah tidak muat harus tetap kupakai, aku tidak mengerti dengan pasti. Tapi sebagai seorang anak aku mematuhi saja. Aku percaya bahwa Ibu pasti lebih tahu mana yang terbaik. Termasuk tentang mematikan lampu sebelum tidur. Katanya untuk mengatasi pemanasan global, peghematan sumber daya alam atau entahlah apa istilahnya itu. Tapi bisa kutebak sebenarnya maksud Ibu, dia tak mau tagihan lisrtrik rumah kami melonjak.

Jadi tiap malam sekitar jam sembilan aku harus memetik sakelar lampu kamarku. “Klik,” lalu seluruh ruangan dipenuhi gelap.

Dan inilah rahasiaku, aku takut kegelapan. Bagiku gelap bukan hanya soal lampu yang dipadamkan. Kalau malaikat diibaratkan sebagai butiran cahaya, maka hantu adalah kegelapan. Tepat ketika pijar lampu hilang, berarti para malaikat sudah pergi dan para hantu yang sejak tadi bersembunyi akan mulai merangsek datang. Seakan kini tibalah waktu mereka untuk berkeliaran, berpesta menakuti siapa saja.

Aku selalu dipenuhi bayangan bahwa dalam gelap ada kuntilanak yang melayang-layang di udara, suara cekikikannya berbaur dengan suara gemeretak dari kuku yang menggaruk kaca jendela. Kuku-kuku yang sebenarnya adalah milik wewe gombel, dia kesal karena ada selapis kaca yang menghalanginya untuk menyerbu masuk dan menculikku.

Sementara itu, di bawah kolong ranjang ada suster ngesot yang merangkak menyeret kakinya, meninggalkan genangan darah di seluruh lantai bekas dia lewati. Lalu seorang perempuan bergaun putih tengah menyisir rambut panjangnya yang amat panjang—sampai melebihi pinggul—di depan meja belajarku. Karena aku tak punya meja hias, jadi latarnya pasti di sana. Selesai dengan rambutnya, dia meletakkan sisir di meja dan ketika dia menolehkan kepala, kamu akan melihat bahwa di sana ada banyak belatung yang menyembul dari pori-pori wajahnya.

Serta masih banyak lagi bayangan lain yang sama menyeramkannya di kepalaku. Bayangan, yang meski aku tahu itu hanya hasil imajinasi, tapi tetap saja, siapa yang bisa menjamin bahwa itu tidak akan jadi nyata, bahwa mungkin semua itu benar-benar ada, memang ada.

Aku tidak mau bertaruh soal itu. Aku tidak mau mengecek sendiri untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi dalam gelap, apakah hantu-hantu itu benar-benar datang atau tidak. Jadi ketika lampu dipadamkan, aku langsung menutup mata rapat-rapat, memilih menyembunyikan penglihatan dari segala kemungkinan yang sedang berlangsung dalam gelap.

Dan tak lupa, sebagai pertahanan terakhir, aku juga mengungkung tubuh dalam balutan selimut erat. Aku punya firasat bahwa kalau satu inci saja bagian tubuhku keluar dari lindungan kain yang meski tak seberapa tebal ini, maka akan ada tangan-tangan tak kasat mata yang langsung menyergapnya.


###

Tepat pada ulang tahunku yang ke sembilan, oleh karena ajaran Ibu tentang hidup hemat, aku sadar bahwa mengharapkan sebuah perayaan pesta, kue dan lilin, adalah sia-sia. Jadi betapa terkejutnya aku ketika sehabis menyelesaikan makan malam kami—yang terdiri dari nasi dan sup dingin sisa tadi pagi—Ibu tahu-tahu menjulurkan bungkusan plastik merah. Untukku katanya.

Saat kubuka ternyata bungkusan itu berisi sebuah boneka perempuan yang, bahkan dengan bajunya yang kumal, pipi bernoda, rambut pirang yang semrawut, dan berbau yang tampaknya sehabis jatuh ke tong sampah, aku tetap bisa menganggap bahwa boneka ini menggemaskan.

Aku berterimakasih pada Ibu sambil memeluknya. Tak ada yang perlu mengatakan, kami berdua sama-sama tau bahwa boneka ini bekas.

Aku mencubit pipi gembil si boneka. “Enggak paapa meski kamu boneka bekas, buatku kamu tetep paling gemesin,” bisikku padanya. Aku tersenyum lebar sambil menatap mata hitamnya yang sebesar kelereng. Dan entah perasaanku saja, dua bola mata itu seakan balik menyorotiku dengan tajam.

###

Saat aku kembali ke kamar, masih sambil menimang-nimang si boneka, aku mengangkatnya sejajar dengan wajahku, mencoba menelusuri pada kedalaman matanya yang sehitam tinta, apakah sungguh tadi dia balas menatapku? Itu tidak masuk akal, tapi tadi sungguh aku merasa seakan matanya benar-benar hidup. Ah sudahlah, mungkin aku hanya sangat bahagia karena hari ini untuk pertama kalinya aku mendapat hadiah dari Ibu.


“Hai… Kamu mau kan jadi temenku?”


Aku menunggu selama beberapa menit.


Tentu saja. Mana mungkin dia menjawab. Ya ampun, aku masih berharap dia benar-benar hidup.


“Tentu dong. Aku mau temenan sama kamu,” aku menjawab pernyataanku sendiri, berpura-pura mewakili suara si boneka.


“Janji?” aku menjulurkan jari kelingkingku lalu mengaitkannya pada jari tangan si boneka.


“Janji. Teman. Selamanya,” Lagi-lagi aku mewakili suara si boneka.


Malam itu aku tidur dengan memeluknya erat. Aku dapat merasakan lembut materialnya yang terbuat dari dacron. Kukira tadi karena boneka ini tampak lusuh, isinya pasti dari jerami. Ternyata aku salah.

Kami berdua berdesak-desakan di bawah selimut. Sebelumnya aku sudah bercerita—dengan suara berbisik yang paling lirih, pada telinga si boneka—bahwa di kamarku, tepat setelah memadamkan lampu, akan ada banyak hantu yang berdatangan.




“Kamu takut enggak?” tanyaku. Aku mengangguk-nganggukkan kepala si boneka. “Cup cup cup... kasian. Kalau kamu takut, kamu tutup mata aja. Ni, kayak aku. Oke?”

Lagi-lagi aku mengangguk-anggukkan kepalanya.


###


Hari berlalu dan si boneka mulai menjadi hal paling favorit bagiku. Selain menjadi teman wajibku ketika tidur, aku juga senang menghabiskan waktu berjam-berjam bermain dengannya. Main masak-masakan, petak umpet, lomba lari, meski ya tentu, yang melakukan itu semua cuma aku sendiri. Sementara si boneka tetap diam tempat aku mendudukkannya tadi. Aku kadang juga mendadaninya. Memberinya bedak di pipi, mengenakannya jepit di rambut pirangnya yang tak bisa lurus, biar sekuat apapun aku menyisirnya tetap saja semrawut.

Kadang aku juga pura-pura bicara padanya. Kuceritakan semua unek-unekku. Kebanyakan masih tentang bayangan menyeramkan dalam gelap. Sambil menimang-nimangnya, kubawa dia kembali ke kamarku, kutunjuk tiap sudut di mana para hantu itu biasa mengambil tempatnya masing-masing; langit-langit, jendela, kolong ranjang, dan depan meja belajar.

Eh, bagaimana cara menjelaskannya, ketika di sepanjang bercerita aku menatap matanya, aku malah seolah terhipnotis. Aku seolah ditarik paksa untuk menyelami kedalamannya yang sehitam tinta. Dan jauh di dalam sana, di lautan yang amat pekat, ketika kutemukan bahwa ternyata tak ada apa-apa, sebuah kesadaran muncul di kepalaku. Tak ada yang menyeramkan pada hitam. Tak ada yang menyeramkan pada gelap.


###

Hari masih terus berlalu. Aku masih tetap harus patuh pada prinsip hemat Ibu. Aku masih tetap harus memetik sakelar lampu.

Tetapi ada yang agak berbeda. Aku memang masih takut gelap, tapi sudah tak setakut dulu lagi. Aku memang masih memejamkan mata, tapi kadang dalam beberapa kesempatan, kucoba memicingkannya sedikit. Aku memang masih bergelut dalam selimut, tapi kadang kubiarkan ujung kakiku menyembul keluar dari kungkungannya, dan merasakan angin menyapu.

Lalu pada malam yang ke sekian, kucoba memberanikan diri untuk melakukan lebih.

Telentang menengadah ke langit-langit, di dada aku merekap erat si boneka. Sedikit demi sedikit aku membuka pejam mata. Tubuhku mulai dibanjiri keringat dingin. Perasaan takut yang tadi sempat memudar kini kembali datang. Tapi kemudian ketika kuingat bahwa aku sedang bersama si boneka, bahwa aku tidak sendirian, bahwa dalam beberapa hari sebelumnya aku sudah mulai belajar tentang gelap pada matanya, nyaliku kembali berkobar.

Kubuka mata lebar, kupelototi langit-langit. Dan tahukah? Tak kudapati kuntilanak sedang cekikikan di sana. Begitupun ketika aku mengobservasi sekeliling, tak ada apa-apa. Aku menghela napas lega, teramat lega. Sekujur tubuhku yang sedari tadi tegang melemas seketika.

Sambil tersenyum pada si boneka, aku berkata, “Ternyata emang enggak serem sama sekali, ya.”

###

Seiring dengan mulai menghilangnya rasa takutku pada gelap, ketergantunganku untuk tidur dengan memeluk si boneka juga berkurang. Kadang aku membawanya tidur, tapi kadang aku juga lupa. Kalau dihitung-hitung, sepertinya ini sudah sekitar seminggu aku lupa terus. Kurasa terakhir kali aku meninggalkannya di halaman, atau di meja makan? Aku tidak ingat. Tapi yang pasti si boneka sedang tidak di kamarku.

Jadi betapa terkejutnya ketika tengah malam aku merasakan sesuatu yang lembut menelusup, memeluk leherku. Aku mengira itu hanya ujung selimut. Jadi aku berusaha menyibaknya. Tapi pelukan di leherku malah makin erat, makin erat sampai kini tak lagi terasa seperti pelukan, melainkan lebih pada cekikan. Aku meronta mencoba melepaskannya, aku makin susah bernapas. Tepat ketika aku membuka mata, cekikan di leherku langsung terlepas. Dan hal yang lebih membuatku terpana, di tengah napasku yang memburu, aku mendapati bahwa ternyata sesuatu yang sedang tergolek di sampingku adalah si boneka.




###


Pagi hari aku bertanya pada Ibu, apakah dia yang memindahkan si boneka ke ranjangku. Ibu Cuma menggeleng, lalu lanjut menyiapkan sarapan pagi. Aku kebingungan. Kalau bukan Ibu, lalu siapa yang memindahkannya? Aku yakin semalam sebelum tidur dia tidak ada di sana.


Aku melirik si boneka yang masih berada di lantai tempat tadi malam aku melemparnya. Dia tak bergerak, diam sebagaimana benda mati pada normalnya. Aku bergidik. Apakah kecurigaanku selama ini tentang matanya yang hidup itu benar-benar nyata? Lebih daripada itu, dia bisa bergerak sendiri dan bahkan mencekikku.


###


Ketika aku hendak berangkat sekolah aku memasukkan kembali si boneka ke plastik merah, tempat Ibu dulu membungkusnya pada malam ulang tahunku. Ingat, kan, bahwa Ibuku super hemat. Dia tidak akan membiarkan benda yang masih bisa berguna terbuang percuma.


Aku membawanya sepanjang perjalananku ke sekolah. Di tengah jalan ketika aku melihat tong sampah, aku membuangnya di sana.


Selain dicekam rasa takut dan terancam, aku juga dipenuhi rasa bersalah. Perasaan-perasaan itu berperang dalam batinku. Aku sadar bahwa dia bukan cuma sekedar boneka, dia temanku, dia sudah menemani hari-hariku, dia bahkan yang juga mengajariku melawan gelap. Belum lagi aku pernah berjanji untuk berteman dengannya selamanya. Sekarang ketika dari jarak yang tak seberapa jauh dari tong sampah, aku memandangi bungkusan plastik merah itu, aku merasa seakan sedang berkhianat.


Muncul perasaan kuat untuk melangkah dan mengambilnya kembali. Tapi saat tanpa sadar aku mengelus sekeliling leherku, bagaimana aku masih bisa merasakan denyut sakit bekas cekikannya semalam, seketika perasaan bersalahku hilang. Seorang teman tak akan menyakiti temannya, bukan.


###


Aku lagi-lagi merasa sesak. Aliran pernapasanku tersumbat. Ada kekuatan yang mencekalnya. Kekuatan yang semakin lama semakin besar seakan hendak mendorongku hingga batas akhir. Aku meronta-ronta, kakiku menendang-nendang mengais selimut, dan tanganku dengan segenap upaya berusaha mendorong siapapun yang sedang berada di atasku. Siapapun… siapa? Apakah… aku membuka mata dan mendapati bahwa tebakanku benar, si boneka kembali.

“Janji. Teman. Selamanya,” Aku mendengar suara yang mirip suaraku keluar dari mulut si boneka. Samar-samar di tengah sesakku, aku ingat bahwa itu adalah kata-kata yang dulu pernah kuucapkan untuk mewakilinya dalam menjawab pertanyaanku sendiri.


“Janji. Teman. Selamanya,” kata-kata itu kembali diulang. Aku makin susah bernapas dan kekuatanku untuk melawan semakin berkurang. Mataku dengan lemah menatap pada dua bola matanya yang sebesar kelereng, sehitam tinta. Dan dapat kupastikan kali ini bahwa mata itu benar-benar hidup, bahkan dipenuhi binar senang saat menatapku yang sedang meregang nyawa.

Aku berusaha berteriak meminta pertolongan Ibu. Tapi tak ada suara yang bisa keluar dari tenggorokanku kecuali suara seperti orang tersedak.


Dan apa yang tampaknya bisa lebih buruk lagi, terjadi. Dari gelap yang beberapa saat terakhir ini tak lagi kutakuti, aku melihat semua bayangan menyeramkanku bermunculan. Para hantu itu datang, hanya saja kali ini dalam reka adegan yang berkali-kali lipat lebih menyeramkannya.

Mereka semua mendekat. Kuntilanak yang melayang-layang di udara kini terbang makin menukik. Si wewe gombel tak lagi terlihat kesal sebab kini dia berhasil melewati jendela. Suster ngesot menyeret kakinya memanjat ranjangku. Perempuan berambut sangat panjang berjalan perlahan dengan belatung yang berjatuhan.

Semakin dekat mereka, semakin kuat cekalan yang diberikan si boneka pada leherku, seakan-akan dia sedang mencoba meremukkannya.

Dalam detik-detik terakhir napasku, ketika aku mulai ditelan ketidaksadaran, aku bertanya-tanya apakah gelap memang harus semenyeramkan ini?














You May Also Like

0 komentar